Rabu, 05 Agustus 2009

Penyajian Lisan

Mendewasakan Penonton Televisi

  • Oleh M Rikza Chamami

ILUSTRASI artikel Sdr Toto Suparto berjudul "Ancaman Demam Smackdown" (SM, 30/11/2006) banyak memberikan informasi mengenai "kejahatan" media. Bahkan secara implisit ia terlalu pesimistis seakan televisi menjadi faktor utama perusak budaya-moral bangsa dan penyebar kekerasan.

Dalam kerangka mewujudkan demokrasi penyiaran, penulis sepakat dengan gagasan mengenai penghapusan tayangan kekerasan, terutama dalam merespon siaran Smackdown. Namun usaha untuk melakukan generalisasi bahwa semua tayangan kekerasan di televisi itu merusak moral bangsa, inilah yang patut diluruskan.

Tidak semua tayangan kekerasan berbau negatif. Ada beberapa tayangan kekerasan yang harus ditayangkan, sebagai pelajaran berarti bagi penonton. Misalnya film tentang bahaya dan dosa menganiaya orang, tentunya tetap ditampilkan adegan kekerasan, namun harus disesuaikan dengan batasan regulasi penyiaran.

Penayangan adegan itu bukan semata memberikan contoh agar manusia meniru kekerasan, tetapi justru memberikan pesan moral agar dijauhi.

Memang, setiap kali layar televisi menyajikan tayangan yang menghibur hati, rasanya ada hipnotis yang hadir. Penonton televisi terbuai dan tunduk dengan "fatwa" gambar hidupnya. Di sinilah kehebatan ideologisasi televisi.

Penonton Aktif-Kritis

Melihat banyaknya miss communication, dua hal penting yang perlu dibudayakan. Pertama, budaya menjadikan penonton aktif dan kritis. Seringkali para penonton televisi dengan mudah mengamini tayangan.

Bahkan televisi selalu dijadikan rujukan utama. Dari mulai berita, hiburan, kisah sinetron, hingga menu masakan. Orang dengan mudah menjawab "dari televisi" ketika ditanya darimana ia mendapat informasi.

Keparahan lain, penonton tidak bisa membedakan antara opini dan fakta media. Semua sajian televisi ditelan mentah. Mereka percaya apa yang ada di televisi adalah kebenaran. Maka lahirlah generasi bangsa dengan mental penonton pasif.

Penonton pasif inilah yang menjadikan sumber petaka atas tayangan televisi. Karena mereka belum mampu menyaring pesan media sesuai yang diharapkan industri penyiaran.

Kasus tayangan Smackdown jika dicermati secara arif merupakan imbas dari pasifnya penonton. Dimana penonton (seusia anak Indonesia ) yang belum mampu menangkap pesan "adu kuat fiktif" dari layar monitor menganggapnya sebagai fakta.

Berbeda dengan anak-anak di Amerika yang sudah rasional memahaminya sebagai adegan tipuan sebagaimana kisah yang digambarkan Adi Eko Priyono, Asisten Direktur Suara Merdeka Group (SM, 30/11/2006)

Berbeda jika penonton bersifat aktif, ia mampu menyensor isi siaran. Jika aktif dalam menonton secara otomatis memunculkan sikap kritis. Jika menemukan adegan yang tidak sesuai nilai budaya bangsa ia lari dari channel. Jika tetap melihatnya, menjadikannya sebagai bahan pendidikan yang kelak nantinya harus dijauhi.

Kedua, budaya mendewasakan pikiran anak. Artinya dalam memosisikan anak sebagai penonton televisi, orang tua memberikan pendampingan dan arahan agar pikiran anak lebih dewasa.

Jika orang tua sering mendampingi dan memilihkan acara untuk anak, maka pikiran anak akan bertambah dewasa dan ia pun merasa dipercaya oleh orang tuanya.

Dengan demikian muncul kepercayaan diri dan selektivitas dalam memilih siaran televisi. Kedewasaan pikir anak juga memberikan penilaian objektif terhadap objek tayangan televisi.

Langkah mendewasakan penonton membutuhkan waktu panjang. Minimal penonton dipaksa untuk melek terhadap media terlebih dahulu. Artinya jangan sampai para penonton terlalu tertutup dan kaku terhadap media. Jika yang terjadi demikian, maka sangat tidak mungkin ia dewasa dalam menonton televisi.

Gerakan melek media sangat efektif jika dimulai dari ruang privasi keluarga. Semua pihak yang ada dalam keluarga disuguhi "nasihat" seputar media (terutama televisi) oleh pimpinan keluarga.

Dijelaskan bahwa setiap tayangan televisi tidak semuanya harus ditiru dan benar, tetapi harus dipilah-pilah. Yang tepat lagi adalah menjadikan televisi sebagai sahabat keluarga.

Prinsip utama dalam menjadikan televisi sebagai mitra keuarga adalah mendewasakan semua penonton. Karena kedewasaan penonton juga akan menjadikan dirinya aktif dan kritis. Selain itu, televisi merupakan sumber pendidikan yang cukup efektif mengarungi dunia globalisasi. (11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar